Menteri Luhut: Wajib RT-PCR Bagi Penumpang Pesawat untuk Antisipasi Lonjakan Kasus

  • Oleh : Fahmi

Selasa, 26/Okt/2021 07:54 WIB
Tes Covid-19.(Ist) Tes Covid-19.(Ist)

JAKARTA (BeritaTrans.com) - Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjawab banjirnya kritik dari berbagai lapisan masyarakat yang keberatan diberlakukannya tes PCR bagi moda transportasi udara. 

Ia mengatakan kebijakan ini dilakukan untuk menyeimbangkan relaksasi yang dilakukan oleh pemerintah pada aktivitas masyarakat khususnya di sektor pariwisata. 

Baca Juga:
Luhut Apresiasi Dukungan Angkasa Pura I pada KTT G20


Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Kemenko Marves) 

Luhut menjelaskan, meskipun kasus Covid-19 di Tanah Air sudah menurun, pemerintah akan terus memperkuat strategi pengendalian pandemi seperti penguatan 3T dan penegakan protokol kesehatan 3M agar kasus tidak kembali naik terutama dalam menghadapi periode liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Tidak hanya untuk pesawat terbang, penggunaan tes PCR tersebut juga akan diberlakukan secara bertahap pada moda-moda transportasi lainnya. 

Baca Juga:
Pengesahan Pengelolaan Bandara Dhoho Kediri, Target Operasi Oktober 2023

“Perlu dipahami bahwa kebijakan PCR ini diberlakukan karena kami melihat risiko penyebaran semakin meningkat, karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir," ujar Luhut dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (25/10/2021). 


Para penumpang di Bandara Soekarno-Hatta yang hendak mudik di tengah pandemi Covid-19, Tangerang. 

Baca Juga:
Syarat Naik Pesawat, Segini Tarif Tes PCR dan Antigen di Bandara

"Sekali lagi saya ingin tegaskan, kita belajar dari banyak negara yang melakukan relaksasi aktivitas masyarakat dan prokes kemudian kasusnya meningkat dahsyat, meskipun tingkat vaksinasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia,” tambahnya. 

Ia mencontohkan, apa yang terjadi dt Inggris, Italia dan Belanda, yang mengalami lonjakan signifikan. Maka dari itu, tegasnya, berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, semata-mata untuk mencegah terjadinya ledakan kasus seperti yang terjadi pada periode Juni-Juli 2021 lalu akibat menyebarnya varian Delta. 

“Jadi saya mohon jangan kita melihat enaknya, karena enak ini kita rileks yang berlebihan nanti kalau sudah ramai jangan juga nanti ribut. Jadi saya mohon, kita sudah cukup pengalaman, menghadapi ini, jadi jangan kita emosional menanggapi apa yang kami lakukan ini,” tuturnya. 

Presiden, ujar Luhut, juga menginstruksikan untuk menurunkan harga tes PCR dari semula Rp495 ribu menjadi Rp300 ribu yang berlaku selama 3x24 jam. 

Selain itu, berdasarkan survei dari Balitbangkes Kementerian Perhubungan diperoleh hasil bahwa akan terjadi peningkatan mobilitas masyarakat pada liburan Nataru mendatang. Diprediksi sebanyak 19,9 juta orang akan melakukan perjalanan di wilayah Jawa dan Bali, dan sekitar 4,45 juta orang akan bergerak di sekitar wilayah Jabodetabek. 

Varian Baru Delta 


Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam telekonferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (7/6) mengatakan sekolah Tatap muka dilakukan secara Terbatas (biro pers). 

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah akan terus mengantisipasi terjadinya gelombang ketiga menjelang liburan Nataru, apalagi Indonesia akan menjadi tuan rumah berbagai acara internasional, termasuk Forum Ekonomi G20. Selain itu, pihaknya juga memonitor dengan seksama perkembangan varian baru dari Delta, yakni AY.4.2, yang terdapat di Inggris yang berpotensi mengkhawatirkan. 

“Varian ini merupakan turunan dari varian Delta yang lumayan meningkatkan kasus konfirmasi yang ada di Inggris, cukup lama sejak Juli-Oktober tahun ini dan masih terus meningkat. Kemudian kedua, kita melihat bahwa beberapa negara di Eropa memang kasusnya meningkat terus,” ungkap Budi. 

Budi mengungkapkan, telah terjadi kenaikan kasus di 105 kabupaten/kota yang tersebar di 30 provinsi dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Meskipun kenaikan kasusnya masih dalam batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pihaknya akan terus menekan perebakan wabah virus corona agar tetap bisa terkendali dengan baik. 

“Untuk itu, yang perlu dilakukan dari sisi surveillance kami akan memastikan bahwa semua kontak erat harus dilakukan testing, karena disitu lah risiko terbesar dari penyebaran," katanya. 

Protokol 3T, menurut Menkes, harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Selain itu pemerintah juga akan memastikan vaksinasi dipercepat, terutama untuk lansia. 

"Karena ini adalah orang-orang yang berisiko tinggi untuk masuk rumah sakit dan wafat kalau nanti ada lonjakan berikutnya, yang kita harapkan tidak terjadi,” jelasnya. 

Terkait cakupan vaksinasi, per 25 Oktober Menkes melaporkan sebanyak 182 juta dosis pertama telah disuntikkan kepada 113 juta masyarakat atau 54 persen dari target populasi 208 juta penduduk. Sedangkan, sebanyak 68 juta orang atau 32 persen dari target populasi sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis lengkap. 

Dengan kecepatan penyuntikkan sebanyak 2,3 juta dosis per hari, Budi menargetkan pada akhir tahun sebanyak 290 juta-300 juta dosis bisa diberikan kepada 168 juta orang untuk dosis pertama atau 80 persen dari target populasi, dan 123 juta orang sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua atau sekitar 59 persen dari target populasi. 

Antigen Cukup Efektif 

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan berdasarkan strategi berbasis risiko, potensi tingkat penularan di pesawat paling kecil dibandingkan dengan moda-moda transportasi lainnya. Sehingga menurutnya kurang masuk akal apabila tes PCR dijadikan syarat wajib bagi penumpang pesawat terbang. 

“Sehingga kalau misalnya mau tetap dijalankan, berarti apalagi moda transportasi lain harus PCR juga. Tapi masalahnya adalah, kalau bicara efektivitas sebetulnya masih relatif efektif juga rapid tes antigen, karena kalau bicara strategi berbasi risiko tadi, jelas masih memadai antigen,” ungkapnya. 

Selain itu, katanya, strategi pengendalian pandemi harus cost effective, dan menurutnya kurang cocok apabila syarat test PCR dijadikan syarat wajib bagi penumpang pesawat terbang untuk saat ini. 

“Kenapa? Bukan hanya dari sisi harga, tapi dari sisi waktu, akses, kecepatan. Ini kalau dibandingkan ya berat di masyarakat dan di maskapainya juga kecuali di penyedianya akan sedikit diuntungkan dalam posisi ini. Oleh karena itu, untuk kontinuitas, dan juga kekonsistenan dalam strategi berbasis risiko ya cukup antigen,” jelasnya. 

Lebih jauh, ujar Dicky, pemerintah harus mewaspadai ancaman varian baru dari Delta yang bisa berdampak lebih serius dibandingkan dengan gelombang kedua. Strategi penguatan 3T, 5 M dan vaksinasi harus terus digenjot secara merata dan setara, terutama penjagaan ketat di pintu masuk tanah air dengan pemberlakukan masa karantina untuk pelaku perjalanan internasional yang sebaiknya jangan di bawah tujuh hari. Strategi 5M adalah strategi 3 M ditambah menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas. 

“Ini semakin serius terutama data di Inggris menunjukkan adanya varian dari Delta, Delta plus yang bisa berpotensi mengalahkan Delta dari data yang ada sementara ini. Dan itu artinya disebut gelombang ketiga yang tadinya ancamannya moderat bisa sama dengan gelombang kedua. Ini artinya kita tidak bisa abai, apalagi fondasi dari program pengendalian kita ini masih belum kuat. 3T saja belum merata, setara dan kuat,” pungkasnya. (fhm/sumber:voa)