China Semakin Digdaya, Barat Berusaha Membendungnya

  • Oleh : Redaksi

Senin, 01/Nov/2021 21:36 WIB


Saat Australia memilih kekuatan nuklir sebagai bagian pertahanan dan garis pertempuran sedang ditarik untuk menghadapi kemungkinan pertikaian dengan China, timbul pertanyaan: apakah negara Barat siap untuk itu?

Australia-Inggris-Amerika Serikat mengumumkan perjanjian baru bidang pertahanan bernama AUKUS, yang program pertamanya menyiapkan armada kapal selam nuklir untuk Australia.

Baca Juga:
Amerika Serikat Kirim 6 Pesawat Pengebom Nuklir ke Dekat Indonesia, Ada Apa?

Para pengamat menyebut AUKUS dirancang untuk menghadapi dominasi China di kawasan ini.

China sendiri telah menutup setiap celah dari keunggulan militer Amerika sedemikian rupa sehingga Laksamana Phillip Davidson dari AS menyebut China bisa "secara paksa mengubah status quo".

Baca Juga:
Keren, Kapal Selam TNI AL Kini Punya Amunisi Counter Terpedo Baru

China telah berinvestasi dalam kemampuan rudal jelajah dan balistik anti-kapal untuk melawan kekuatan Angkatan Laut AS.

Ini adalah strategi yang dikenal sebagai penolakan anti-akses/area (A2/AD). Bagi Beijing, hal ini merupakan pencapaian tujuan yang telah mereka sampaikan yaitu memenangkan peperangan regional.

Baca Juga:
Kapal Selam Scorpene: Spesifikasi, Harga dan Keunggulannya yang Mampu Bawa Torpedo Black Shark

Pentagon menggambarkan strategi A2/AD China sebagai sarana untuk "menghalangi, atau jika diperlukan, mengalahkan intervensi pihak ketiga terhadap serangan berskala besar" dari Tentara Pembebasan Rakyat China.

Bagian dari strategi ini adalah menargetkan kapal bertenaga nuklir milik AS. Rudal balistik bersenjata DF-21D China dirancang untuk menyerang kapal yang bergerak.

China juga telah membawa rencana perang ke luar angkasa. Negara itu memiliki 200 satelit di orbit Bumi, beberapa di antaranya dirancang untuk tujuan militer dan pengawasan maritim.

China bahkan memiliki rencana yang disebut sebagai "Pearl Harbor Ruang Angkasa", merujuk ke serangan Jepang di Hawaii dalam PD II. China bisa meluncurkan serangan mendadak untuk menghancurkan satelit AS dan melumpuhkan militer negera itu.

Ekspansi militer China ke pulau-pulau yang dipersengketakan di Laut China Selatan memberinya keunggulan penting untuk mengerahkan pesawat tempur dan peluncur rudal bergerak.

Tantangan bagi Amerika

Lembaga think tank AS Rand Corporation, melihat tantangan keamanan di Asia-Pasifik antara tahun 2030 dan 2040, menyebutkan Amerika memang menghabiskan lebih banyak anggaran untuk pertahanan daripada China, namun menyebar tipis secara global.

Sementara Beijing dapat fokus pada wilayah sekitarnya sendiri.

Hal itu, katanya, menjadikan "kedua kekuatan militer di kawasan itu lebih seimbang dan mungkin memberi China keunggulan di wilayahnya."

"China akan semakin mampu menantang kemampuan Amerika untuk secara langsung membela sekutu dan kepentingannya di sekitar wilayah China," tambahnya.

A Chinese Navy submarine attends an international fleet.Armada Angkatan Laut China telah mengalami banyak kemajuan dan dinilai siap menghadapi ancaman militer dari negara lain.(AFP: Guang Niu)

Profesor Michael Beckley dari Universitas Tuftsmengatakan Amerika sedang berpacu dengan waktu.

Ia mengatakan negara itu harus mengubah arah, mengurangi misi di tempat lain dan lebih fokus pada China.

"Jika Amerika Serikat tidak mengambil kesempatan untuk mengamankan keunggukan militernya atas China, mungkin tidak akan ada kesempatan lainnya," tulis Prof Beckley dalan jurnal Foreign Affairs.

Amerika, kata Prof Beckley, salah jika mengandalkan kapal perang besar dan pesawat jarak pendek yang semuanya kini bisa dihancurkan China.

Sistem persenjataan mahal Amerika, katanya, tak lebih dari "sasaran empuk untuk rudal-rudal China".

Profesor Beckley menjelaskan, AS sebenarnya tidak siap berperang dengan China. Amerika telah mengakui ancaman itu, katanya, sekarang perlu memikirkan kembali strateginya.

"Alih-alih menunggu perang dimulai dan mengirimkan kapal induk yang rentan ke Asia Timur, Amerika Serikat dapat memasang 'ladang ranjau' berteknologi tinggi di daerah itu dengan menempatkan peluncur rudal, drone bersenjata, dan sensor di laut dan di wilayah sekutu dekat garis pantai China. Jaringan amunisi yang tersebar ini akan sulit dinetralkan oleh China," jelasnya.

Cina selangkah lebih maju

Jatuhnya Kabul telah menimbulkan pertanyaan tentang masa depan pengaruh Amerika. Jika 

AS tidak dapat mengalahkan Taliban, harapan apa yang tersisa untuk bisa menghadapi negara seperti China?

Pertanyaan retoris ini sebenarnya mengabaikan kekuatan Amerika yang masih sangat besar.

Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan Adam Tooze:

"AS telah mendefinisikan tatanan global sejak tahun 1940-an, ketika pertama kali muncul sebagai kekuatan militer dahsyat dengan Angkatan Laut besar dan Angkatan Udara bersenjata nuklir yang tak tertandingi. Itu masih terus berlanjut. Penarikan pasukan dari Afghanistan tidak menghilangkan keunggulan ini."

Afghanistan, katanya, telah lama berhenti menjadi "medan pertempuran yang menentukan".

"Perang melawan terori bisa tampak seperti pengalih perhatian. Ketika AS menyia-nyiakan sumber dayanya demi memburu Bin Laden dan senjata pemusnah massal (Irak) yang tidak ada, China telah semakin maju," tulis Profesor Tooze di media New Statesman.

Penarikan dari Afghanistan, katanya, merupakan bagian dari penataan kembali strategi Amerika yang dimulai di bawah Pemerintahan Obama.

AS di bawah Presiden Joe Biden telah meningkatkan belanja militer dan beralih dari perang terakhir ke perang potensial yang akan datang, perang dengan konsekuensi yang jauh lebih besar.

Kepresidenan Biden tidak akan ditentukan oleh Afghanistan tetapi oleh China. Australia berada di persimpangan momen bersejarah ini.

Kita telah meninggalkan mantra bahwa kita tidak harus memilih antara Beijing dan Washington. Kita semua bersama Amerika. Sekarang kami telah mengambil opsi nuklir.

Namun, terlepas dari kesepakatan baru antara Australia, Amerika dan Inggris dan seruan untuk membela Indo-Pasifik, kita harus mengejar ketinggalan.

China sudah mulai menyiapkan diri untuk bertempur.

China umumkan aturan baru

Mulai 1 September, media pemerintah China melaporkan penjaga pantai  di negaranya sudah diberi kewenangan untuk menuntut kapal asing melaporkan isi kargonya saat melewati Laut China Selatan yang mereka klaim.

Harian Global Times melaporkan Angkatan Laut atau Penjaga Pantai China kini "berwenang untuk menghalau atau menolak masuknya kapal jika ditemukan akan menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional China".

Langkah ini tampaknya tidak berbahaya karena untuk kepentingan keamanan.

Tapi hal ini ditafsirkan sebagai ancaman terhadap pelayaran bebas di kawasan yang menurut PBB merupakan perairan internasional.

Three men stand on a boat overlooking the water and another boat nearby.Pasukan penjaga pantai Filipina semakin sering menemukan kapal-kapal milisi China yang beroperasi sebagai kapal pencari ikan.(AP via Philippine Coast Guard)

Seperti halnya China yang melakukan tekanan ekonomi ke Australia, di laut lepas sebuah kapal China dapat menargetkan kapal negara tertentu sebagai sinyal bagi yang lain.

Menteri Pertahanan Filipin, Delfin Lorenzana kepada CNN menyatakan prihatin dengan aturan baru itu karena dapat menyebabkan salah perhitungan di lapangan.

Mantan wakil kepala Organisasi Intelijen Pertahanan Australia, Michael Shoebridge, menyebut aturan baru itu sebagai "intimidasi dan paksaan berlebihan dari China".

Man wearing a black suit jacket and white shirt, sitting in a park.

Mantan deputi kepala badan intelijen pertahanan Australia Michael Shoebridge.(ABC News)

"Masalah sebenarnya yaitu komandan kapal dan pesawat China di lapangan bisa berpikir bahwa mereka hanya melakukan apa yang diinginkan Xi Jinping, dengan menciptakan konfrontasi dan eskalasi," kata Shoebridge.

"Lantas akan ada masalah kebanggaan nasional, menyelamatkan muka, nasionalisme, bila sebuah peristiwa terjadi, para pemimpin merasa sulit untuk mundur," katanya.

Tekanan internasional meningkat

Laut China Selatan adalah jalur perairan strategis yang dilalui oleh sepertiga pelayaran dunia, senilai lebih dari $4 triliun dalam perdagangan.

China telah memperkuat dirinya di lebih dari 20 pulau di wilayah tersebut melalui pangkalan Angkatan Laut dan Angkatan Udara atau melalui patroli berkelanjutan.

China borders South China SeaChina mengklaim mayoritas wilayah perairan di Laut China Selatan, namun klaim ini tak diakui oleh negara terkait.(ABC News: Illustration/Jarrod  Fankhauser)

Terlepas dari keputusan PBB lima tahun lalu, China terus mengklaim apa yang disebut sebagai "Sembilan Garis Terputus" di perairan lepas pantai negara-negara ASEAN: Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.

Penjaga Pantai China telah mengancam dan melecehkan nelayan dari negara ASEAN ini sambil mendukung tindakan milisi armada penangkap ikannya sendiri.

Sekarang Amerika Serikat, Eropa, negara-negara ASEAN dan Australia melakukan aksi balasan.

Inggris telah mengirim armada perang Kapal Induk ke wilayah tersebut, dipimpin oleh kapal induk HMS Elizabeth dengan kapal perang Belanda di sampingnya.

Jet tempur AS telah melakukan latihan untuk menguji interoperabilitas jika terjadi krisis.

Awal tahun ini, Prancis melakukan hal serupa dan akhir tahun ini Jerman direncakanan mengirim kapal perangnya ke sana.

A warship with a helicopter on it on the open ocean with a smaller warship behind itAL Jepang dan AL Australia melakukan latihan bersama di Laut China Selatan tahun lalu.(Twitter: Japan Maritime Self-Defense Force)

"Kita akan melihat peningkatan kehadiran Angkatan Laut dan pengawasan udara dari negara-negara kuat, terutama Eropa di Indo Pasifik,” kata Shoebridge.

"Ini reaksi terhadap tumbuhnya kekuatan China, tetapi juga cara China menggunakan kekuatan itu. Mereka pastinya mendapatkan penolakan karena bagian dunia itu bukan milik mereka," tambahnya.

Mencapai kesepakatan diplomatik

Amerika Serikat berhasil meyakinkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk berkomitmen kembali untuk menempatkan tentara dan pelaut Amerika di wilayahnya.

Yang lebih menghebohkan adalah langkah Indonesia, yang merupakan pelopor Gerakan Nonblok (mengirimkan perwiranya ke China dan AS serta Australia untuk pelatihan).

Belum lama ini Indonesia telah menandatangani kesepakatan dengan AS untuk membangun pangkalan Pasukan Penjaga Pantai di Pulau Batam, lokasi strategis ke Laut China Selatan.

"Ini adalah langkah signifikan bahwa Pusat Pelatihan di Batam melibatkan Amerika Serikat secara langsung," kata Dewi Fortuna Anwar, seorang pengamat di Jakarta.

Men and women pose for a photo in front of an image that includes the US Coast Guard emblem.Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat untuk membangun pangkalan Pasukan Penjaga Pantai yang melibatkan AS di Pulau Batam.(Supplied: Bakamla)

"Semakin terlihat bahwa Penjaga Pantai berada di tengah ancaman keamanan non-tradisional di Laut China Selatan, yang melibatkan elemen sipil seperti 

kapal penangkap ikan," jelasnya.

"Saya kira sulit dihindari untuk mengatakan bahwa ini bagian dari upaya mengimbangi China secara lunak," kata Dewi Fortuna.

Bulan lalu, Wakil Presiden AS Kamala Harris mengunjungi Singapura dan Vietnam, memperingatkan China: "Kami menyambut persaingan ketat - kami tidak mencari konflik."

"Kami akan angkat bicara bila ada tindakan Beijing yang mengancam tatanan internasional berbasis hukum," ujarnya.

Penempatan pasukan Amerika

Foreign Minister Marise Payne speaks with her Indonesian counterpart Retno MarsudiMenlu Marise Payne dan Menhan Peter Dutton menemui Menlu Retno Marsudi dan Menhan Prabowo Subianto di Jakarta awal September 2021.(AP: Indonesian Ministry of Foreign Affairs)

Pekan lalu, Australia menandatangani kesepakatan dengan Indonesiatentang apa yang digambarkan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai yang pertama dalam sejarah.

Kesepakatan itu mencakup kemungkinan pelatihan militer bersama di Australia dan prajurit Indonesia ikut dalam akademi militer di Australia.

Bukan hanya Indonesia. Menhan dan Menlu Australia juga akan bertemu dengan mitranya dari India dan Korea Selatan sebelum menuju ke Washington menghadiri pertemuan AUSMIN akhir pekan ini.

Australia dapat melihat kehadiran militer Amerika yang lebih besar di Darwin dan daerah Stirling di Australia Barat.

​​​​​​Peningkatan kapasitas lapangan di utara Australia dan bahkan di Kepulauan Cocos Keeling, bisa menjadi pangkalan bagi pengawasan udara regional.

"Cocos Keeling berada di jantung Indo Pasifik. Cukup kredibel untuk menganggapnya sebagai tempat di mana pesawat patroli maritim empat negara dapat beroperasi," jelas Shoebridge.

"Sangat penting mengupayakan semaksimal mungkin untuk mencegah eskalasi dan perang terbuka dengan RRC [Republik Rakyat China]," kata Laksamana Harris.

"Tidak ada yang menginginkan hal itu. Kami tak 

menginginkannya. China tidak menginginkannya. Tapi kita harus waspada terhadap perilaku agresif Tiongkok, baik di militer maupun di bidang ekonomi," katanya.

"RRC, perilaku buruknya sendiri, yang menunjukkan kepada negara lain betapa buruknya hal itu. Jadi, musuh terburuk mereka adalah dirinya sendiri," ucapnya.

Kedutaan Besar China di Canberra menolak permintaan wawancara dengan ABC dengan alasan lockdown dan situasi COVID-19.

Tahun lalu, juru bicara Kemenlu China menyatakan pihaknya "tidak pernah berusaha membangun kekuatan maritim di Laut China Selatan."

"Kami selalu memperlakukan tetangga di Laut China Selatan secara setara dan menahan diri semaksimal mungkin saat menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingan kami," katanya.

Sumber: abc.net.au.